Home » Pendidikan » Dampak Negatif Tingginya UKT pada Pertumbuhan Ekonomi

Dampak Negatif Tingginya UKT pada Pertumbuhan Ekonomi

Fajar Eka Putra July 27, 2024

kabarmalut.co.id – Kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bukan hanya membebani sebagian pihak, tetapi juga memiliki dampak jangka pendek dalam peningkatan pendapatan dan dampak jangka panjang yang menghambat target pertumbuhan ekonomi. Pendidikan tinggi selama ini selalu dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti yang dibuktikan oleh berbagai penelitian dan data. Namun, paradoks muncul ketika petinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menganggap kuliah sebagai sesuatu yang bersifat tersier (Kompas.com – 18/05/2024).

” Baca Juga: Penangkapan 2 Pelaku Begal di Bekasi “

Dampak Pandangan Kemendikbud pada Target Pertumbuhan Ekonomi

Jika pemikiran ini mewakili pandangan Kemendikbud, maka sesungguhnya pemerintah sendiri yang menggagalkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan oleh pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming. Struktur pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini sangat bergantung pada konsumsi rumah tangga, dengan lapangan usaha pertanian menempati posisi utama. Pendidikan tinggi seharusnya membuka peluang peningkatan pendapatan, yang menjadi syarat mutlak untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kualitas tenaga kerja di sektor pertanian juga perlu dipertimbangkan.

Dominasi Konsumsi Rumah Tangga dalam Pertumbuhan Ekonomi

Pengeluaran konsumsi rumah tangga masih mendominasi struktur pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan terus meningkat. Pada Triwulan I 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa distribusi dari Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) meningkat 2,04 persen poin dari 52,89 persen pada TW-1 2023 menjadi 54,93 persen pada TW-1 2024 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Secara historis, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar peluang peningkatan kesejahteraan, meskipun seringkali hal ini menjauhkan tenaga kerja dari sektor pertanian. Distribusi PDB sektor pertanian terus menurun, dengan catatan BPS menunjukkan penurunan dari 11,78 persen pada TW1-2023 menjadi 11,61 persen pada TW1-2024.

Baca Juga :   Pabrik Semen China di Aceh, Pengusaha Lokal Khawatir

Selain itu, sektor pertanian juga memberikan pendapatan terendah. Pada Februari 2024, BPS mencatat bahwa sektor pertanian adalah salah satu dari tiga sektor dengan upah terendah. Dengan rata-rata upah sebesar Rp 2,24 juta per bulan. Sebaliknya, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin tinggi pula pendapatan yang diharapkan. Data Sakernas menunjukkan bahwa pekerja dengan pendidikan DIV/S1/S2/S3 menerima upah sebesar Rp 4,69 juta. Yang setara dengan 2,45 kali lipat dari upah pekerja berpendidikan SD ke bawah yang hanya menerima Rp 1,92 juta.

Dampak Peningkatan UKT pada Pertumbuhan Ekonomi

Dengan demikian, peningkatan UKT yang membebani akses ke pendidikan tinggi akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Pendidikan tinggi harus menjadi prioritas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Peningkatan kualitas pendidikan akan menghasilkan tenaga kerja yang lebih produktif dan berpendapatan lebih tinggi. Yang pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi rumah tangga dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

” Baca Juga: Ghea Michieo: Dari Dunia Musik ke Dunia Bisnis “

Dengan demikian, kebijakan yang meningkatkan biaya pendidikan tinggi perlu dipertimbangkan kembali. Pemerintah harus memastikan akses yang lebih luas dan terjangkau ke pendidikan tinggi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penekanan pada pendidikan tinggi tidak hanya akan mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kesenjangan sosial.