Home » Pendidikan » Pendekatan Diferensiasi dalam Pendidikan: Lebih dari Metodologi

Pendekatan Diferensiasi dalam Pendidikan: Lebih dari Metodologi

Fajar Eka Putra July 26, 2024

kabarmalut.co.id – Setiap anak memiliki potensi dan minat yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan yang berbeda juga diperlukan untuk mengembangkan bakat mereka secara maksimal. Filosofi ini menjadi dasar pembelajaran diferensiasi yang disampaikan oleh Muhammad Nur Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM). Rizal menggambarkan hubungan antara guru dan murid seperti hubungan orang tua dengan anak, di mana orang tua mampu menangani anak-anak mereka yang berbeda dengan penuh cinta dan kasih sayang. “Kenapa orang tua bisa menangani anaknya yang berbeda-beda? Kenapa? Karena punya hati dan cinta kasih. Ketika anaknya nakalnya kayak apapun, diberi kesempatan untuk terus tumbuh dan berkembang karena cintanya kepada anak. Caranya, akhirnya, beda,” ungkap Rizal dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, seperti yang dikutip melalui keterangan tertulis pada Senin (13/5/2024).

” Baca Juga: Fungsi Tersembunyi di Logo Apple pada iPad Pro 2024 “

Filosofi Dibalik Pembelajaran Diferensiasi

Rizal menekankan bahwa pendekatan diferensiasi untuk murid harus dilihat sebagai filosofi pendidikan, bukan sekadar metodologi. Ia menyayangkan bahwa konsep ini sering disalahartikan dan dianggap hanya sebagai metode yang kerap usang seiring waktu karena dianggap membebani. Menurutnya, menjadikan pembelajaran diferensiasi sebagai suatu filosofi bisa membuat para guru lebih mudah memahami dan menerapkan konsep ini. Sehingga tetap menjadi inti dari pendidikan di Indonesia meskipun kurikulum dan program terus berubah.

Menghidupkan Filosofi dalam Pendidikan

Rizal berpendapat bahwa implementasi diferensiasi dalam pendidikan tidak boleh hanya menjadi formalitas. Diperlukan keseriusan dan pola pikir bahwa pendidikan harus mampu mengeluarkan potensi dan minat bawaan setiap individu, serta relevan dengan lingkungan sekitar. “Inilah wujud dari pendidikan berkebudayaan, sehingga pemaknaan dan penerjemahan kurikulum akan fleksibel, disesuaikan dengan kultur setempat,” jelasnya. Filosofi ini harus tertanam dalam diri guru, birokrat pendidikan, dan pemangku kepentingan lainnya agar benar-benar terwujud.

Baca Juga :   Teknologi Mengurangi Kesenjangan dalam Pendidikan

Pendidikan Berkebudayaan dan Sinergi Belajar

Menurut Rizal, pendidikan berkebudayaan akan membuat guru menggunakan alam dan kehidupan nyata sebagai laboratorium belajar. Hal ini akan membangun sinergi antara pembelajaran di dalam dan di luar kelas, melampaui batasan-batasan mata pelajaran. “Pendidikan akan membebaskan guru dan murid, menyadarkan mereka dari kondisinya yang tidak ideal, lalu, berani berkreasi untuk menciptakan inovasi, gagasan, dan aksi yang berdampak bagi kebaikan bersama,” tambahnya.

Membangun Hubungan Berdasarkan Cinta

Kadisdik Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono, juga menekankan bahwa guru harus menjadi sahabat bagi murid. Menurutnya, rasa nyaman dan aman dalam proses belajar mengajar hanya dapat tercipta jika dialog, interaksi, dan refleksi antara guru dan murid didasarkan pada rasa cinta. Hal ini menegaskan pentingnya pendekatan yang penuh kasih dalam hubungan antara guru dan murid, yang pada akhirnya mendukung perkembangan optimal setiap anak.

” Baca Juga: Kunjungan Kerja Presiden Joko Widodo di Sulawesi Tenggara “

Dengan demikian, pembelajaran diferensiasi bukan hanya tentang metode mengajar yang bervariasi, tetapi lebih tentang filosofi yang mengakui dan menghargai perbedaan individu, serta menciptakan lingkungan pendidikan yang dinamis dan relevan dengan budaya dan kebutuhan siswa.